Tulisan ini dimuat di kolom opini Denpost, Bulan November 2016
Beberapa bulan yang lalu saya membaca artikel blog dari Ibu Sonia Piscayanti yang menurut saya cukup provokatif. Artikel tersebut mengulas lemahnya posisi wanita dalam adat Bali. Kiranya bukan hanya saya yang tergelitik dengan artikel tersebut. Banyak pihak lain yang juga tergelitik. Artikel tersebut berseliweran di newsfeed Facebook saya selama beberapa minggu. Ada pihak yang mengamini, ada pihak yang dengan keras menolak isi nya. Ada banyak dimensi yang tersentuh dalam artikel tersebut, namun untuk kali ini saya ingin menyoroti dua hal saja: tuntutan bagi wanita Bali untuk terlibat dalam ritual dan mapan secara finansial.
Beberapa bulan yang lalu saya membaca artikel blog dari Ibu Sonia Piscayanti yang menurut saya cukup provokatif. Artikel tersebut mengulas lemahnya posisi wanita dalam adat Bali. Kiranya bukan hanya saya yang tergelitik dengan artikel tersebut. Banyak pihak lain yang juga tergelitik. Artikel tersebut berseliweran di newsfeed Facebook saya selama beberapa minggu. Ada pihak yang mengamini, ada pihak yang dengan keras menolak isi nya. Ada banyak dimensi yang tersentuh dalam artikel tersebut, namun untuk kali ini saya ingin menyoroti dua hal saja: tuntutan bagi wanita Bali untuk terlibat dalam ritual dan mapan secara finansial.
Beberapa
waktu lalu saya menemukan sebuat tulisan ilmiah: “Ritual as ‘work’ The
invisibility of women’s socio-economic and religious roles in a changing
Balinese society” (Ritual sebagai ‘kerja’ Tak terlihatnya peran serta sosial
ekonomi dan keagamaan wanita dalam masyarakat Bali yang sedang mengalami
perubahan) oleh Ayami Nakatani. Tulisan ini termuat sebagai Bab dalam buku “Inequality,
Crisis and Social Change in Indonesia” (Ketidaksamarataan, Krisis dan Perubahan
Sosial di Indonesia) oleh Thomas Anton Reuter, 2003.
Dalam
tulisannya, Nakatani memuat hasil penelitiannya mengenai ketidakseimbangan
beban kerja dalam bidang ritual antara wanita dan pria di sebuah desa di
Kabupaten Karangasem. Ditemukan bahwa dalam periode sebelas bulan (Desember
1991 – November 1992), wanita lebih lama dan lebih sering menghabiskan waktu
untuk ritual dibandingkan dengan kaum prianya. Wanita menghabiskan waktu lebih
dari empat kali lipat lebih lama dan hampir dua kali lipat lebih sering untuk
ritual dan dibandingkan prianya.
Apa
sebenarnya masalahnya jika wanita Bali lebih sibuk dalam ritual dibandingkan
para lelakinya? Jika kita mengacu pada tatanan “kodrat” wanita sebagai “ibu
rumah tangga” – yang berarti bertanggung jawab untuk urusan domestik termasuk
ritual – dan pria sebagai pencari nafkah di luar rumah, seharusnya tidak ada
masalah.
Masalahnya
adalah, saat ini wanita Bali bukan “cuma” Ibu rumah tangga. Menurut data Biro
Pusat Statistik (http://bali.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/150),
di tahun 2014 sekitar 66% dari wanita usia produktif di Bali bekerja. Hanya 21%
dari wanita usia produktif yang mengurus rumah tangga. Dengan asumsi bahwa data
BPS ini valid, inilah kenyataan Bali saat ini. Sebagian besar wanita Bali
bekerja. Jadi, kita tidak bisa lagi mengacu pada tatanan “kodrat” wanita
sebagai “ibu rumah tangga” dan pria sebagai pencari nafkah di luar rumah karena
sudah tidak sesuai dengan kenyataan.
Kiranya
jika keseimbangan menjadi esensi dari sistem sosial kemasyarakatan Bali; yang
menjadi pertanyaan adalah, apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat Bali untuk
menyikapi situasi ini?
Kiranya
ada tiga informasi empiris yang masih perlu kita kumpulkan sebelum memutuskan
langkah dalam menyikapi situasi ini. Langkah pertama adalah konfirmasi bahwa
situasi ini berlaku secara general di Bali, dan bukan hanya di desa tempat
Nakatani melakukan penelitiannya. Perlu kiranya ada penelitian serupa dengan
yang dilakukan oleh Nakatani di desa – desa lain di Bali: catat jangka waktu
dan frekuensi keterlibatan wanita dan pria dalam hal ritual di desa. Kedua,
dalam artikelnya Nakatani mencatat bahwa beban finansial untuk ritual
ditanggung sebagian besar oleh para wanita. Pencatatan serupa kiranya perlu
dilakukan di desa – desa lain. Lebih detailnya, perlu dicatat berapa biaya
untuk ritual dan siapa yang menanggung, apakah pihak wanita atau pria? Dan
berapa porsi pembiayaan masing – masing pihak. Ketiga, Nakatani juga mencatat
bagaimana wanita di desa tempat penelitiannya mengeluh karena keterlibatan
ritual mengurangi waktu produktif mereka untuk bekerja. Kiranya sentimen yang
sama, jika ada, perlu dicatat dan didokumentasikan dari desa – desa lain. Dengan
demikian kita memiliki bukti empiris apakah ketidakseimbangan beban kerja dan
tanggungan biaya ritual berlaku general di Bali, dan apakah ada pihak yang
merasa “sengsara” akibatnya.
Artikel
Ibu Sonia Piscayanti dan balasan – balasannya sangatlah menarik untuk membuat
kita tersadar akan potensi lemahnya posisi wanita Bali. Sekarang saatnya kita
mengumpulkan bukti agar kita tahu secara nyata. Perlu usaha – usaha kecil dari
banyak pihak untuk mengumpulkan data – data seperti yang saya sebut di atas,
lalu usaha lebih besar untuk merangkumnya. Telisik diri, menilai berdasarkan
bukti dan bukan hanya adu opini.
No comments:
Post a Comment