Friday, 10 January 2020

Apakah Ritual Membebani Perempuan Bali?


Tulisan ini dimuat di kolom opini Denpost, Bulan November 2016

Beberapa bulan yang lalu saya membaca artikel blog dari Ibu Sonia Piscayanti yang menurut saya cukup provokatif. Artikel tersebut mengulas lemahnya posisi wanita dalam adat Bali. Kiranya bukan hanya saya yang tergelitik dengan artikel tersebut. Banyak pihak lain yang juga tergelitik. Artikel tersebut berseliweran di newsfeed Facebook saya selama beberapa minggu. Ada pihak yang mengamini, ada pihak yang dengan keras menolak isi nya. Ada banyak dimensi yang tersentuh dalam artikel tersebut, namun untuk kali ini saya ingin menyoroti dua hal saja: tuntutan bagi wanita Bali untuk terlibat dalam ritual dan mapan secara finansial.

Beberapa waktu lalu saya menemukan sebuat tulisan ilmiah: “Ritual as ‘work’ The invisibility of women’s socio-economic and religious roles in a changing Balinese society” (Ritual sebagai ‘kerja’ Tak terlihatnya peran serta sosial ekonomi dan keagamaan wanita dalam masyarakat Bali yang sedang mengalami perubahan) oleh Ayami Nakatani. Tulisan ini termuat sebagai Bab dalam buku “Inequality, Crisis and Social Change in Indonesia” (Ketidaksamarataan, Krisis dan Perubahan Sosial di Indonesia) oleh Thomas Anton Reuter, 2003.

Dalam tulisannya, Nakatani memuat hasil penelitiannya mengenai ketidakseimbangan beban kerja dalam bidang ritual antara wanita dan pria di sebuah desa di Kabupaten Karangasem. Ditemukan bahwa dalam periode sebelas bulan (Desember 1991 – November 1992), wanita lebih lama dan lebih sering menghabiskan waktu untuk ritual dibandingkan dengan kaum prianya. Wanita menghabiskan waktu lebih dari empat kali lipat lebih lama dan hampir dua kali lipat lebih sering untuk ritual dan dibandingkan prianya.

Apa sebenarnya masalahnya jika wanita Bali lebih sibuk dalam ritual dibandingkan para lelakinya? Jika kita mengacu pada tatanan “kodrat” wanita sebagai “ibu rumah tangga” – yang berarti bertanggung jawab untuk urusan domestik termasuk ritual – dan pria sebagai pencari nafkah di luar rumah, seharusnya tidak ada masalah.

Masalahnya adalah, saat ini wanita Bali bukan “cuma” Ibu rumah tangga. Menurut data Biro Pusat Statistik (http://bali.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/150), di tahun 2014 sekitar 66% dari wanita usia produktif di Bali bekerja. Hanya 21% dari wanita usia produktif yang mengurus rumah tangga. Dengan asumsi bahwa data BPS ini valid, inilah kenyataan Bali saat ini. Sebagian besar wanita Bali bekerja. Jadi, kita tidak bisa lagi mengacu pada tatanan “kodrat” wanita sebagai “ibu rumah tangga” dan pria sebagai pencari nafkah di luar rumah karena sudah tidak sesuai dengan kenyataan.

Kiranya jika keseimbangan menjadi esensi dari sistem sosial kemasyarakatan Bali; yang menjadi pertanyaan adalah, apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat Bali untuk menyikapi situasi ini?

Kiranya ada tiga informasi empiris yang masih perlu kita kumpulkan sebelum memutuskan langkah dalam menyikapi situasi ini. Langkah pertama adalah konfirmasi bahwa situasi ini berlaku secara general di Bali, dan bukan hanya di desa tempat Nakatani melakukan penelitiannya. Perlu kiranya ada penelitian serupa dengan yang dilakukan oleh Nakatani di desa – desa lain di Bali: catat jangka waktu dan frekuensi keterlibatan wanita dan pria dalam hal ritual di desa. Kedua, dalam artikelnya Nakatani mencatat bahwa beban finansial untuk ritual ditanggung sebagian besar oleh para wanita. Pencatatan serupa kiranya perlu dilakukan di desa – desa lain. Lebih detailnya, perlu dicatat berapa biaya untuk ritual dan siapa yang menanggung, apakah pihak wanita atau pria? Dan berapa porsi pembiayaan masing – masing pihak. Ketiga, Nakatani juga mencatat bagaimana wanita di desa tempat penelitiannya mengeluh karena keterlibatan ritual mengurangi waktu produktif mereka untuk bekerja. Kiranya sentimen yang sama, jika ada, perlu dicatat dan didokumentasikan dari desa – desa lain. Dengan demikian kita memiliki bukti empiris apakah ketidakseimbangan beban kerja dan tanggungan biaya ritual berlaku general di Bali, dan apakah ada pihak yang merasa “sengsara” akibatnya.

Artikel Ibu Sonia Piscayanti dan balasan – balasannya sangatlah menarik untuk membuat kita tersadar akan potensi lemahnya posisi wanita Bali. Sekarang saatnya kita mengumpulkan bukti agar kita tahu secara nyata. Perlu usaha – usaha kecil dari banyak pihak untuk mengumpulkan data – data seperti yang saya sebut di atas, lalu usaha lebih besar untuk merangkumnya. Telisik diri, menilai berdasarkan bukti dan bukan hanya adu opini.

No comments:

Post a Comment